AHMAD SOBIRIN
TIYUH Margomulyo, Kecamatan Tumijajar, Tulangbawang Barat, merupakan daerah yang selalu menjaga tradisi leluhur, salah satunya adalah kegiatan gotong royong yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat. Gotong royong merupakan salah satu bentuk silaturahmi sesama penduduk dan bentuk kekompakan warga dalam mewujudkan visi tiyuh, yaitu terwujudnya Margomulyo yang religius dan sejahtera.
Kepala Tiyuh Margomulyo, Didik Subroto, menyatakan masyarakat memegang teguh kegiatan gotong royong sebagai salah satu ciri masyarakat Indonesia. Masyarakat melakukan gotong royong dalam setiap kegiatan.
“Sebagai contoh, jika dalam lingkungan sekitar ada salah satu warga yang membangun rumah, banyak warga yang membantu menyelesaikan pembangunan rumah tanpa dimintai tolong,” katanya, Selasa (12/1).
Selain gotong royong, dalam menjaga kereligiusan, warga rutin menggelar kegiatan keagamaan melalui perkumpulan jemaah yasin dan tahlil. Perkumpulan itu rata-rata per RW dua sampai tiga kelompok, terdiri dari kelompok bapak-bapak dan ibu-ibu.
“Kegiatan keagamaan bukan hanya oleh kaum muslim. Umat kristiani juga rutin melakukan kegiatan mingguan ke rumah masing-masing jemaat dengan tujuan beribadah bersama serta menjalin silaturahmi dengan sesama,” katanya.
Tiyuh Margomulyo sudah berdiri sejak 1972. Namun, pada 1998 terjadi pemekaran menjadi dua tiyuh, yaitu Margodadi dan Margomulyo. Tiyuh Margomulyo masuk wilayah Kecamatan Tumijajar yang memiliki sembilan tiyuh dan satu kelurahan.
Persawahan mendominasi areal di Tiyuh Margomulyo. Oleh sebab itu, mayoritas warga setempat bermata pencarian sebagai petani dan pekebun.
Hasil utama pertanian Tiyuh Margomulyo adalah padi, singkong, dan sayur-mayur. Selain itu, lahan perkebunan menghasilkan karet dan sawit.
Selain sebagai petani, masyarakat setempat juga ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, swasta, dan pedagang, baik skala lokal, seperti warung/toko, maupun berjualan di pasar atau tempat lain.
“Masyarakat di sini sangat majemuk karena berasal dari berbagai suku, seperti Jawa, Lampung, Sunda, Madura, Batak, Bali, Banten, dan Palembang. Kemajemukan itu membuat tradisi dan kebiasaan begitu beragam,” katanya.
Masyarakat di sini sangat majemuk karena berasal dari berbagai suku, seperti Jawa, Lampung, Sunda, Madura, Batak, Bali, Banten, dan Palembang.
Program
Pemerintah tiyuh pada tahun lalu dengan mengandalkan anggaran dari dana desa melakukan berbagai kegiatan, seperti penanganan Covid-19 dan pembangunan fisik. Namun, khusus untuk pembangunan sejumlah infrastruktur sempat terhenti karena anggaran yang ada lebih banyak untuk melakukan kegiatan penanganan Covid-19.
“Tahun ini kami memiliki sejumlah program untuk pembangunan infrastruktur dalam menunjang kegiatan masyarakat. Namun, tidak semua kegiatan dapat terlaksana karena adanya pandemi Covid-19 ini,” kata Didik.
Pihaknya pada tahun lalu merencanakan pembuatan sumur bor di tiga titik lokasi berbeda, yaitu masjid dan gereja. Namun, belum semua dapat terlaksana.
Sedangkan dalam upaya penanganan Covid-19, pihaknya melakukan sejumlah kegiatan menyalurkan bantuan langsung tunai dana desa (BLT DD) termin 1 dan 2 untuk 100 keluarga penerima manfaat (KPM), sementara termin 3 jumlah KPM 45 KK. Kemudian membagikan empat ribu masker bagi masyarakat dan pembagian nutrisi tambahan untuk 66 lansia.
“Selain itu, pembuatan ruang isolasi sementara untuk pendatang, penyemprotan disinfektan untuk fasilitas umum, dan pembentukan gugus tugas tiyuh,” katanya.
Dia menambahkan untuk tahun 2021, pihaknya masih tetap memprioritaskan penanganan Covid-19, seperti pembagian BLT DD, program padat karya, dan pendampingan UMKM serta digitalisasi tiyuh. Sedangkan untuk pembangunan fisik melanjutkan program yang tertunda akibat pandemi Covid-19. (D1)
ahmad@lampungpost.id