FAJAR NOFITRA
DESA Gununggijul, Kecamatan Abung Tengah, Lampung Utara, yang terletak di wilayah perbukitan memiliki berbagai potensi yang memesona. Dengan letak geografis tersebut, desa memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah.
Gununggijul menyimpan sejuta potensi keindahan alam yang eksotis. Selain itu, juga hal yang mungkin sulit menemuinya di tempat lain, yakni kearifan lokal sebagai modal masyarakat setempat dalam menjaga harmonisasi keseimbangan dengan alam. Mereka kompak menjaga tanah kelahirannya itu agar tetap terjaga, seperti tidak melakukan pemburuan liar baik satwa maupun memanen hasil hutan secara membabi-buta.
“Ini sudah berjalan cukup lama sehingga di era serbainstan ini, masih banyak siamang (monyet berbulu putih) dengan suara khasnya. Belum lagi burung-burung yang bersiul bersahutan yang menjadi pemandangan biasa di sini. Selain itu, jika memasukkan kaki ke air sungai, serasa udang kecil menggigit telapak kaki,” kata Kepala Desa Gununggijul Feri Ferdiansyah, Minggu (21/2).
Selain keasrian alam yang tetap terjaga, ada keunikan lain dari kebiasaan yang ada di desa tersebut. Setiap bulan ada hari bebas tanpa asap, jangankan membakar sampah, yang hobi merokok pun tidak dapat menyalurkan kebiasaannya. Hal itu membuat kesejukan dan kesegaran udaranya kian terasa.
“Ya, ada beberapa pelancong yang menyampaikan kepada kami seperti ini. Bagi kami itu adalah peraturan mutlak yang mengikat siapa pun yang datang kemari, termasuk masyarakatnya sebagai motor penggerak,” kata Faiza, tokoh pemuda setempat.
Feri menambahkan dengan posisi wilayah yang ada di ketinggian 3.800 meter, Desa Gununggijul sangat cocok untuk tanaman musiman, seperti durian yang sedang digalakkan saat ini. Pihaknya berharap saat panen tiba bisa melebihi saat panen raya kopi, lada, atau tanaman yang banyak masyarakat tanam.
“Dengan demikian, uang yang beredar di masyarakat bisa mencapai miliaran rupiah dari hasil bercocok tanam tanaman keras itu,” ujar dia.
Desa yang pernah mendapat penghargaan Kalpataru tingkat Provinsi Lampung itu juga menjadi penopang bagi daerah yang berada di hilir. “Desa kami menjadi hulu dari aliran sungai yang menopang desa di hilir, seperti Subik dan Gunungbesar. Masyarakat di sini sadar betul untuk menjaga keasrian alam tersebut dengan menjaga keberadaan pohon dan keanekaragaman hewan. Salah satu upayanya dengan secara berkala melepas aneka burung,” kata dia.
Gotong Royong
Selain itu, warga senantiasa mengedepankan gotong royong dalam pembangunan desa, khususnya yang menggunakan dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD). “Alhamdulillah, walaupun desa kami berada di ujung kecamatan, berkat dukungan masyarakat, wilayah kami ini layak menjadi tujuan wisata. Desa kami juga pernah menggelar berbagai event tingkat kabupaten bahkan provinsi dalam upaya mendorong minat wisatawan datang, baik hanya sekadar berkunjung maupun untuk menanamkan modalnya di sini. Itu semua demi mewujudkan destinasi agrowisata desa,” kata Feri.
Kepala Desa yakin jika pengelolaan potensi itu berjalan baik dapat memberikan dampak positif bagi desa yang berpenduduk seribuan jiwa itu. Namun, pihaknya belum mampu melakukannya karena kondisi saat ini sehingga sulit merealisasikannya.
Pihaknya tetap berupaya agar dapat memaksimalkan potensi lainnya, seperti sektor pertanian dan perkebunan. Sebab, dengan geografis khas pegunungan dan perbukitan, dari 1.467 hektare wilayahnya menjadi areal pertanian dan perkebunan.
Tidak salah jika mayoritas penduduknya yang berjumlah 1.265 kepala keluarga, terdiri atas 279 laki-laki dan 626 perempuan, itu bermata pencarian sebagai petani dan pekebun. “Wilayah kami yang berada di pegunungan dan perbukitan menjadikan sebagian besar arealnya daerah pertanian dan perkebunan. Banyak masyarakat di sini yang menggantungkan hidupnya dari kedua sektor tersebut,” ujarnya.
Aparat Desa Gununggijul juga mengedepankan kearifan lokal di empat dusun dan delapan rukun tetangga (RT), yang ada di wilayah hulu Bendungan Way Rarem itu, dalam melaksanakan program Desa Sadar Lingkungan atau Desa Konservasi.
“Masyarakat dengan kearifan lokalnya banyak melakukan kegiatan di desa konservasi, seperti menanam kayu betung yang kelak dapat menjadi media membuat kerajinan anyaman. Ada juga penanaman kayu sialang, kayu tebu, kayu sekacang, dan banyak lagi lainnya,” kata Feri.
Dia berharap kegiatan melalui kearifan lokal dan kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga alam itu dapat memberi manfaat. Masyarakat dapat memanfaatkan hasil alam, seperti madu dari lebah trigona yang memiliki nilai ekonomis tinggi, untuk membantu perekonomian keluarga.
“Alhamdulillah, kesadaran masyarakat di sini telah terbangun dan berkomitmen menjadikan desa ini sebagai desa konservasi atau desa edukasi,” ujarnya. (D1)
fajar@lampungpost.id